Keteguhan Imam Sa'id bin Musayyib
04/09/14
Tambah Komentar
Aku biasa bertandang ke majelis pengajian Imam Sa'id bin Musayyab (ulama besar dari kalangan tabi'in yang tinggal di Madinah) , demikian dituturkan oleh Abu Wida'ah. Suatu saat aku tidak menghadiri majelis ini hingga beberapa hari. Ketika aku bertemu lagi dengan beliau, beliau bertanya, "Ke mana saja kamu?"
"Istri saya meninggal dunia. Saya sibuk mengurus jenazahnya," jawabku.
"Mengapa kamu tidak mengabariku, kan aku bisa hadir pada penguburannya," ucapnya.
Setelah pengajian berakhir, aku berniat pulang dan hendak bangkit berdiri. "Mbok ya kamu cari perempuan lain sebagai ganti mendiang istrimu," ujar sang imam.
"Siapa pula yang mau menikahkan putrinya dengan saya, wong saya tidak punya apa-apa kecuali dua atau tiga dirham," tukasku.
"Kalau aku menikahkan kamu (dengan putriku), kamu mau?"
"Mau ,mau. Tentu saya mau, Imam," jawabku.
Prosesi akad nikah pun berlangsung saat itu juga. Dimulai dengan malafalkan hamdalah (alhamdulillah) dan salawat kepada Nabi s.a.w.. Beliau lalu mengucap ijab, menikahkan aku dengan putrinya, dengan mas kawin dua dirham. Seusai menjawab dengan kalimat qabul, aku berdiri.
Oh, alangkah bahagianya aku. Aku pulang dengan perasaan gembira. Begitu bahagianya aku sehingga tak tahu harus berbuat apa. Sampai di rumah aku berpikir tentang Kiai Sa'id, orang yang telah mengajariku ilmu dan membimbingku cara beragama yang baik. Kala itu aku berpuasa. Waktu maghrib tiba aku salat dulu baru berbuka. Kuambil menu bukaku, yaitu roti dan minyak zaitun. Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu.
"Siapa?" tanyaku.
"Sa'id," terdengar jawaban dari balik pintu.
Aku berpikir keras, mencoba mengingat-ingat setiap orang bernama Sa'id yang kukenal. Kusebut satu per satu dalam batinku kecuali satu orang, yaitu Imam Sa'id bin Musayyab. Beliau sama sekali tak kuperhitungkan karena selama empat puluh tahun beliau tidak pernah terlihat pergi ke mana-mana kecuali bolak-balik masjid dan rumah. Aku bangkit dan keluar. Ah, ternyata aku salah duga. Yang mengetuk pintu adalah Tuan Guru Sa'id bin Musayyab.
Perasaanku tak enak. Jangan-jangan beliau berubah pikiran. "Wahai Tuan Guru Aba Muhammad, mengapa engkau tidak menyuruh orang untuk memanggilku, biar aku yang datang ke rumahmu," kataku.
"Tidak," jawabnya. "Engkau lebih berhak kudatangi."
"Ada apa gerangan? Apa yang hendak engkau perintahkan padaku?"
"Kulihat engkau telah menjadi lajang, padahal aku telah menikahkanmu. Jadi, aku tidak mau kamu menghabiskan malammu seorang diri. Inilah istrimu," katanya.
Oh, ternyata di belakang Syekh ada seorang perempuan yang wajahnya tertutup cadar. Tadi dia tidak tampak olehku, terhalang oleh tubuh Tuan Guru yang tinggi. Beliau pun kemudian mendorong sang puteri masuk ke dalam rumah, lantas cepat-cepat menutup pintu. Gadis itu, yang kini telah resmi menjadi istriku, langsung terjatuh karena malu.
Aku naik ke loteng, lalu berteriak memanggil para tetangga. Mereka pun berdatangan.
"Ada apa dengan kamu?" tanya mereka.
"Hari ini Imam Sa'id bin Musayyab menikahkan aku dengan putrinya. Beliau telah membawa putrinya ke sini. Sekarang gadis itu ada di pintu."
Orang-orang turun untuk menemui istriku. Ibuku, yang akhirnya juga mendengar kabar tersebut, datang juga. "Aku haramkan engkau bertemu denganku jika kamu menyentuhnya sebelum aku merawat tubuhnya selama tiga hari," katanya.
Aku menurut. Selama tiga hari aku tidak mendekati istriku. Setelah tiga hari berlalu aku masuk ke kamarnya. Amboi, ternyata dia seorang gadis yang sangat cantik. Kecantikannya sungguh tiada tara. Tak cuma itu, ternyata dia juga hafal Al-Quran, dan sangat tinggi ilmunya di dalam bidang hadits. Dia pun sangat tahu mengenai hak-hak suami. Aku merasa sungguh beruntung memperistri dia.
Kini aku mendapat pendamping baru. Hari-hari terus berlalu. Tak terasa sudah sebulan berlalu sejak aku menikah dengan putri Imam Sa'id. Selama itu, mertuaku tidak pernah mengunjungiku, dan aku juga tidak mendatanginya.
Timbul rasa rindu di hati. Aku datang ke halaqah atau majelis pengajiannya di masjid. Kuucapkan salam. "Assalamu alaikum," ucapku.
"Wa alaikumus salam," jawabnya.
Sang Imam tidak berkata apa pun padaku. Setelah semua jama'ah pengajian meninggalkan masjid, dan kini hanya tinggal aku berdua dengannya, dia berkata, "Bagaimana keadaan orang itu?"
"Keadaannya sesuai dengan yang diharapkan seorang teman dan yang tidak disukai oleh musuh," jawabku.
Yang dimaksud sang Imam dengan panggilan "orang" tak lain ialah Khalifah Abul Malik bin Marwan. Dia telah meminang gadis yang kini menjadi istriku untuk disandingkan dengan putranya, Walid, ketika dia dinobatkan sebagai putra mahkota. Imam Sa'id menolak pinangan tersebut. Sejak itu, tiada henti-hentinya Abdul Malik melakukan berbagai usaha untuk membujuk dan memaksa Tuan Guru supaya menerima pinangannya. Berbagai cara dilakukan, termasuk memukuli Imam Sa'id di tengah cuaca dingin dan mengguyurnya dengan air. Sekali pun begitu, Imam Sa'id bergeming. Pinangan khalifah tetap ditolaknya. Seperti itulah keteguhan hati Sang Imam�
"Istri saya meninggal dunia. Saya sibuk mengurus jenazahnya," jawabku.
"Mengapa kamu tidak mengabariku, kan aku bisa hadir pada penguburannya," ucapnya.
Setelah pengajian berakhir, aku berniat pulang dan hendak bangkit berdiri. "Mbok ya kamu cari perempuan lain sebagai ganti mendiang istrimu," ujar sang imam.
"Siapa pula yang mau menikahkan putrinya dengan saya, wong saya tidak punya apa-apa kecuali dua atau tiga dirham," tukasku.
"Kalau aku menikahkan kamu (dengan putriku), kamu mau?"
"Mau ,mau. Tentu saya mau, Imam," jawabku.
Prosesi akad nikah pun berlangsung saat itu juga. Dimulai dengan malafalkan hamdalah (alhamdulillah) dan salawat kepada Nabi s.a.w.. Beliau lalu mengucap ijab, menikahkan aku dengan putrinya, dengan mas kawin dua dirham. Seusai menjawab dengan kalimat qabul, aku berdiri.
Oh, alangkah bahagianya aku. Aku pulang dengan perasaan gembira. Begitu bahagianya aku sehingga tak tahu harus berbuat apa. Sampai di rumah aku berpikir tentang Kiai Sa'id, orang yang telah mengajariku ilmu dan membimbingku cara beragama yang baik. Kala itu aku berpuasa. Waktu maghrib tiba aku salat dulu baru berbuka. Kuambil menu bukaku, yaitu roti dan minyak zaitun. Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu.
"Siapa?" tanyaku.
"Sa'id," terdengar jawaban dari balik pintu.
Aku berpikir keras, mencoba mengingat-ingat setiap orang bernama Sa'id yang kukenal. Kusebut satu per satu dalam batinku kecuali satu orang, yaitu Imam Sa'id bin Musayyab. Beliau sama sekali tak kuperhitungkan karena selama empat puluh tahun beliau tidak pernah terlihat pergi ke mana-mana kecuali bolak-balik masjid dan rumah. Aku bangkit dan keluar. Ah, ternyata aku salah duga. Yang mengetuk pintu adalah Tuan Guru Sa'id bin Musayyab.
Perasaanku tak enak. Jangan-jangan beliau berubah pikiran. "Wahai Tuan Guru Aba Muhammad, mengapa engkau tidak menyuruh orang untuk memanggilku, biar aku yang datang ke rumahmu," kataku.
"Tidak," jawabnya. "Engkau lebih berhak kudatangi."
"Ada apa gerangan? Apa yang hendak engkau perintahkan padaku?"
"Kulihat engkau telah menjadi lajang, padahal aku telah menikahkanmu. Jadi, aku tidak mau kamu menghabiskan malammu seorang diri. Inilah istrimu," katanya.
Oh, ternyata di belakang Syekh ada seorang perempuan yang wajahnya tertutup cadar. Tadi dia tidak tampak olehku, terhalang oleh tubuh Tuan Guru yang tinggi. Beliau pun kemudian mendorong sang puteri masuk ke dalam rumah, lantas cepat-cepat menutup pintu. Gadis itu, yang kini telah resmi menjadi istriku, langsung terjatuh karena malu.
Aku naik ke loteng, lalu berteriak memanggil para tetangga. Mereka pun berdatangan.
"Ada apa dengan kamu?" tanya mereka.
"Hari ini Imam Sa'id bin Musayyab menikahkan aku dengan putrinya. Beliau telah membawa putrinya ke sini. Sekarang gadis itu ada di pintu."
Orang-orang turun untuk menemui istriku. Ibuku, yang akhirnya juga mendengar kabar tersebut, datang juga. "Aku haramkan engkau bertemu denganku jika kamu menyentuhnya sebelum aku merawat tubuhnya selama tiga hari," katanya.
Aku menurut. Selama tiga hari aku tidak mendekati istriku. Setelah tiga hari berlalu aku masuk ke kamarnya. Amboi, ternyata dia seorang gadis yang sangat cantik. Kecantikannya sungguh tiada tara. Tak cuma itu, ternyata dia juga hafal Al-Quran, dan sangat tinggi ilmunya di dalam bidang hadits. Dia pun sangat tahu mengenai hak-hak suami. Aku merasa sungguh beruntung memperistri dia.
Kini aku mendapat pendamping baru. Hari-hari terus berlalu. Tak terasa sudah sebulan berlalu sejak aku menikah dengan putri Imam Sa'id. Selama itu, mertuaku tidak pernah mengunjungiku, dan aku juga tidak mendatanginya.
Timbul rasa rindu di hati. Aku datang ke halaqah atau majelis pengajiannya di masjid. Kuucapkan salam. "Assalamu alaikum," ucapku.
"Wa alaikumus salam," jawabnya.
Sang Imam tidak berkata apa pun padaku. Setelah semua jama'ah pengajian meninggalkan masjid, dan kini hanya tinggal aku berdua dengannya, dia berkata, "Bagaimana keadaan orang itu?"
"Keadaannya sesuai dengan yang diharapkan seorang teman dan yang tidak disukai oleh musuh," jawabku.
Yang dimaksud sang Imam dengan panggilan "orang" tak lain ialah Khalifah Abul Malik bin Marwan. Dia telah meminang gadis yang kini menjadi istriku untuk disandingkan dengan putranya, Walid, ketika dia dinobatkan sebagai putra mahkota. Imam Sa'id menolak pinangan tersebut. Sejak itu, tiada henti-hentinya Abdul Malik melakukan berbagai usaha untuk membujuk dan memaksa Tuan Guru supaya menerima pinangannya. Berbagai cara dilakukan, termasuk memukuli Imam Sa'id di tengah cuaca dingin dan mengguyurnya dengan air. Sekali pun begitu, Imam Sa'id bergeming. Pinangan khalifah tetap ditolaknya. Seperti itulah keteguhan hati Sang Imam�
Belum ada Komentar untuk "Keteguhan Imam Sa'id bin Musayyib"
Posting Komentar